Agustus 2008
Kesaksian Ki Shadri
Ketika pertama kali saya mendengar sebuah judul berita ‘pembunuh berantai’, seperti biasa saya menebak-nebak isinya terlebih dahulu. Awalnya saya menduga bahwa ‘pembunuh berantai’ itu adalah pembunuh beruntun, seperti tabrakan beruntun, gambarannya mobil A ditabrak oleh mobil B, mobil B ditabrak oleh mobil C dan seterusnya. Atau seperti arisan berantai yang sempat membodohi masyarakat pelamun yang ingin kaya dengan cepat. Yakni seorang anggota arisan mengambil uang dari downline-nya, downline-nya ini mengambil uang dari downline-nya juga dan seterusnya, hingga akhirnya downline paling bawah yang gigit jari karena sudah tidak menemukan downline baru buatnya yang bisa dia sedot darahnya. Atau seperti cabang olah raga lari estafet, dimana para atelit berlari sambung menyambung.
Ternyata tebakan saya ini salah karena istilah pembunuh berantai tidak bermakna seperti yang disebutkan di atas dan bukan pula berarti pembunuh yang membawa rantai. Yang disebut dengan pembunuh berantai ternyata adalah seorang pembunuh dengan korban sangat banyak.
Ketika saya berpikir tentang istilah apa sebetulnya lebih tepat diberikan kepada pembunuh seperti ini, di salahsatu stasiun televisi ditayangkan berita tentang seorang mantan pemimpin Serbia Bosnia bernama Radovan Karadzic, yang diserahkan kepada Pengadilan Internasional terhadap Penjahat Perang bekas Yugoslavia (ICTY) di Den Haag. Di dalam berita itu, pembaca berita menyebutkan bahwa diantara kejahatan yang dilakukan Radovan Karadzic adalah ‘pembunuhan masal’ pada saat meletusnya perang Bosnia Herzegovina pada tahun 1992-1995. Nah…. mungkin inilah julukan yang lebih tepat bagi pembunuh yang menelan banyak korban, yaitu ‘pembunuh masal’.
Tapi pentingkah membahas istilah itu? Bukankah yang lebih penting itu justru membahas isinya? Bukan malah membahas istilah, bungkus, simbol, formalitas dan sebagainya. Nah, pemikiran inilah yang saya suka. Tapi jangan lupa juga, pembicaraan bungkus ini menjadi penting ketika kita sedang berbicara mengenai pembunuh masal ini. Karena menurut media masa, pelaku pembunuhan masal ini adalah orang yang memiliki penyimpangan isi dari bungkusnya, alias telah terjadi penyimpangan ruhani dari jasmaninya.
Padahal, dengan sangat jelas kita sering menyaksikan saat ini banyak sekali orang-orang bertingkah laku menyalahi bentuk fisiknya. Celakanya, keadaan seperti ini justru mendapat sambutan baik dari masyarakat bahkan secara tidak langsung telah dipromosikan. Contohnya, ada beberapa acara televisi nasional yang mencapai rating tinggi yang pada acaranya ditampilkan laki-laki dengan gaya berebeda. Tangannya melambai, kalau bicara bibirnya keriting seakan meniru perempuan, memukul dengan telapak tangan bukan menonjok dengan kepalan tangan dan berjalan berlenggak-lenggok seperti berada di atas cat walk. Sekalipun orang-orang yang seperti ini masih tetap mengaku laki-laki tetapi dia bangga dengan gaya perempuannya. Memang sih, acara menjadi segar karena muncul kelucuan-kelucuan sekalipun terkadang terlalu dibuat-buat dan norak. Tetapi bukankah sebenarnya tidak ada hubungan antara acara yang menarik dengan gaya-gaya aneh di atas? Artinya suasana menghibur yang diharapkan sebetulnya bisa dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang berpenampilan sesuai fitrah-nya.
Seorang teman saya yang anggota Marinir, ketika sedang nongkrong dengan saya pernah menegur seorang remaja anaknya tetangga yang gaya berjalannya tidak tegap. Punggung agak membungkuk dan ketika melangkah telapak kakinya kurang diangkat sehingga bagian bawah sandalnya akan cepat tipis karena terus menggores-gores jalan. Teman saya itu menegur anak remaja itu dan memintanya supaya berjalan tegap agar terlihat gagah sebagai laki-laki.
Untuk kali ini saya sependapat dengannya. Secara jujur saya akui, terkadang saya sebbel… sebbel… sebbel… (diucapkan dengan bibir keriting, tangan melambai dan mata menggoda), jika melihat seorang laki-laki yang lemah gemulai. Karena terhadap penampilan jasmani yang seperti itu, terkadang saya berburuk sangka, jangan-jangan hal ini adalah penyesuaian terhadap sikap rohaninya. Kenapa seorang laki-laki tidak bangga berpenampilan sebagai laki-laki dan membiarkan perempuan saja yang bangga berpenampilan sebagai perempuan.
Karena akibatnya terkadang menjadi rumit. Apalagi sampai muncul kejadian banyak laki-laki yang menyukai sesama jenis. Ketika sebilah pedang berhadapan dengan sebilah pedang lagi maka yang akan terjadi adalah suasana ruwet dan menghebohkan. Lain halnya ketika sebilah pedang dimasukkan ke dalam sarungnya, yang akan terjadi adalah suasana aman, nyaman dan tentram. Karena memang kontruksi pedang itu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga ketika dipasangkan dengan sarungnya akan terasa nyaman, klop dan berukuran pas.
Tentu saja gairah terhadap sesama jenis akan sangat sulit terpuaskan, karena hal ini menentang fitrah. Ditambah mencari sesama jenis yang se-madzhab sangatlah sulit karena jarang. Dengan kondisi ini maka wajar jika orang seperti ini akan selalu pusing dan stress karena seringkali mengalami kejadian ‘kasih tak sampai’, gairah tak terarah dan takut kehilangan yang berlebihan. Maka munculah sikap nekad melakukan prilaku kekerasan bahkan sampai membunuh atau usaha untuk bunuh diri.
Agaknya pendidikan sex sejak dini memang sangat perlu disampaikan disamping pendidikan agama yang benar-benar diresapkan ke dalam jiwa. Agar laki-laki dan perempuan sejak dini lebih mengenal dan menjiwai fitrah-nya. Memang benar mereka yang sudah terjerumus ini harus dikasihi dan diperlakukan seperti manusia lainnya. Tetapi usaha untuk mengobati dan menghindarkan mungkin lebih tepat daripada mensponsori, terus mempertontonkan, mendukung dan memberi hati.
Cukuplah gambaran tentang kaum Nabi Luth yang diadzab oleh Tuhan akibat prilaku menyimpang di bumi ini. Tidak perlu menantang turunnya kembali adzab-Nya akibat hal yang sama.
Kesaksian Ki Shadri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar