Ki Shadri dan Ke-hilim-an Ki Fuad

September 2010
Kesaksian Ki Shadri

Ki Shadri dengan Ki Fuad itu sudah bersahabat sejak lama. Bahkan kata orang-orang yang lebay, persahabatan mereka itu terjadi sejak mereka masing-masing masih berada di dalam kandungan ibunya. Biasanya, di antara orang-orang yang bersahabat memiliki banyak kesamaan. Hal ini terjadi karena biasanya dua orang sahabat itu saling mempengaruhi. Tetapi persahabatan Ki Shadri dan Ki Fuad ini berbeda, agaknya persahabatan mereka ini menggoyahkan kemapanan pemahaman tersebut karena persahabatan mereka itu tidak membuat keduanya memiliki kesamaan karakter. Malahan justru, perbedaan karakter mereka itu seperti barat dan timur. Maka tidaklah mengherankan, jika di antara mereka seringkali terjadi perdebatan yang sangat tajam. Tapi beruntung mereka berdua memiliki kemampuan yang baik dalam me-menej  perbedaan-perbedaan itu seolah mereka ingin mewujudkan bahwa memang ikhtilaf  itu harus menjadi rahmat.


Ki Fuad yang lebih pendiam, banyak tersenyum, berpikir cukup lama sebelum mengeluarkan pernyataan atau tindakan, seringkali disebut Ki Shadri sebagai orang yang tidak tegas, lambat, peragu bahkan disebut sebagai orang yang suka menjaga citra alias jaim (jaga imej). Sedangkan Ki Shadri yang lebih meledak-ledak, responsif dan suka mengkritik, terkadang memancing Ki Fuad untuk memanggilnya sebagai orang yang bermulut besar, terlalu banyak bicara dan pengkritik tapi tidak memberikan solusi.

Suatu hari setelah shalat ’ashar berjama’ah, Ki Shadri mengkritik Ki Fuad dengan sangat tajam dan keras. Ki Shadri menganggap Ki Fuad sebagai orang yang merelakan harga dirinya diinjak-injak oleh orang lain. Bagaimana tidak, ketika ikan di kolam Ki Fuad dicuri oleh anak buah seorang jiran pemilik kolam sebelah, Ki Fuad cicing wae. Bahkan meskipun tiga orang petugas ronda yang menangkap basah pencuri ikan itu justru malah berbalik ditangkap oleh anak buah pemilik kolam sebelah, Ki Fuad tetap tidak marah. Baru setelah tekanan berbagai pihak disampaikan kepada Ki Fuad, akhirnya dia berusaha membebaskan petugas ronda itu dan hasilnya lumayan, tiga orang petugas ronda itu bisa pulang ke kampung mereka meskipun dengan sistem barter yaitu menyerahkan para pencuri ikan yang sudah jelas-jelas bersalah.

Tidak tahan karena kritik terhadap Ki Fuad hanya seperti lemparan batu yang mengenai angin, akhirnya Ki Shadri membawa bungkusan kotoran manusia untuk dilemparkan ke rumah si Jiran itu. Untungnya, dengan sigap Ki Fuad menahan gerak Ki Shadri, sambil ia berkata : ”Shadri, apakah kamu sudah kemasukan syetan sehingga kalap seperti ini. Ingat Shadri, Kanjeng Nabi itu pemilik sifat hilim sebagaimana para nabi lainnya, mereka tidak mau membalas kedzaliman orang lain sekalipun mereka mampu”. Kata Ki Fuad memberikan pembenaran terhadap sikap yang sudah diambilnya. Mendengar ucapan itu emosi Ki Shadri sedikit tertahan, karena dia dipaksa harus membaca shalawat setelah mendengar Ki Fuad menyebut-nyebut Kanjeng Nabi.

Lalu Ki Fuad melanjutkan perkataannya, ”Shadri, ketika Kanjeng Nabi dilempari batu oleh penduduk Thaif, kemudian Jibril menawarkan bantuan untuk menghancurkan penduduk Thaif, beliau hanya menjawab dengan doanya agar penduduk Thaif diberi hidayah karena mereka berlaku demikian atas ketidaktahuan mereka. Itulah sifat hilim Kanjeng Nabi, apakah kamu sudah lupa hal itu Shadri ?”.
Sambil masih tetap menatap Ki Shadri, Ki Fuad berkata lagi, ”Shadri, jika kamu mau membalas tindakan dzalim orang lain secara seimbang, itu memang baik, tetapi cara seperti itu nilainya biasa saja, karena cara yang mulia adalah justru membalas keburukan dengan kebaikan”.

Belum selesai Ki Fuad menyampaikan justifikasi atas sikapnya, Ki Shadri tidak sabar memotong pembicaraannya, ”Fuad, kita itu diperintah untuk mempertahankan jiwa, harta dan kehormatan yang kita miliki. Dan kamu itu saudaraku, maka aku akan merasakan rasa sakit saudaraku. Jiwamu, hartamu dan kehormatanmu itu wajib dibela dan haram hukumnya diganggu oleh orang lain. Dan aku berkewajiban membala kehormatanmu itu”. Kata Ki Shadri dengan wajah yang masih memerah, selanjutnya berkata lagi, ”Fuad, kamu tidak boleh berdiam diri manakala tanah warisan orangtuamu dilecehkan oleh orang lain”.

Ketika kegaduhan itu berlangsung, tiba-tiba Ki Mursyid yang dari tadi sedang berdzikir di dalam mesjid keluar menghampiri mereka berdua. ”Ehm...”, suara Ki Mursyid langsung membuyarkan ketegangan Ki Shadri dengan Ki Fuad. Lalu Ki Mursyid menghampiri kedua muridnya itu dan berkata, ”Aku tahu semua tentang apa yang kalian perdebatkan bahkan hampir membuat kalian beradu jotos”. Ki Shadri dan Ki Fuad mendadak tertunduk sambil mendengarkan kata-kata guru mereka. ”Shadri, aku memahami solidaritas kamu terhadap sahabatmu. Dan aku memahami juga alasan tindakanmu ini”, Ki Shadri membalas kata-kata gurunya dengan tatapan hormat. Lalu Ki Mursyid menoleh Ki Fuad dan berkata, ”Fuad, kudengar kamu akan menyelesaikan masalahmu ini dengan musyawarah, itu bagus. Dan kupikir si Shadri, shabatmu ini, pada mulanya juga tidak bermaksud mengajakmu melakukan kekerasan, mungkin dia hanya kesal karena kamu kurang tegas. Jadi yang dia minta adalah ketegasan kamu. Sekarang begini, jika ijtihadmu untuk menyelesaikan masalah ini dengan bermusyawarah sudah kamu anggap benar, maka lakukanlah”. Sambil menoleh lagi kepada Ki Shadri, Ki Mursyid berkata, ”Shadri, sekarang tahan dulu dirimu, biarkan saudaramu ini bermusyawarah terlebih dahulu. Bagaimana menurutmu, Shadri ?”.

Sambil menatap gurunya, Ki Shadri menjawab, ”Demi persahabatanku dengan dia dan hormatku kepada guru, aku akan diam. Tapi jika perundingan tidak membuahkan hasil, apalagi kalau si Fuad semakin dilecehkan, aku akan memohon ijin kepadamu Guru, untuk melakukan tindakan sesuai dengan caraku”.

Ki Mursyid tidak berkata-kata lagi, terjadilah keheningan dan kemudian mereka bubar dengan sendirinya. Setelah itu seperti tidak pernah terjadi apa-apa.... SEPERTI BIASANYA

Kesaksian Ki Shadri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar