Nasib Poligami Kang Ajengan

Februari 2007
Kesaksian Ki Shadri

Di sekitar Februari 2007, dalam satu minggu yang bersamaan, terjadi dua peristiwa yang cukup menghebohkan panggung sandiwara Indonesia. Di kampung maupun di kota, orang muda maupun orang tua, di rumah maupun di tempat kerja, laki-laki maupun wanita, dari Sabang sampai Merauke kecuali Timor Leste, semuanya membicarakan dua peristiwa ini.

Tersiar berita, bahwa seorang kyai kondang melakukan poligami. Orang-orang termasuk pengagumnya, spontan ber-ghibah ria tentang peristiwa ini. Sampai banyak ibu-ibu yang merasa kecewa berat atas tindakan Kang Ajengan kesayangan mereka ini, padahal istri pertamanya saja sebagai pihak yang biasanya terkena dampaknya bisa tampil di depan publik seolah tanpa kekecewaan.

Berbagai media masa mendapatkan tambahan bahan tayangan yang bisa menarik penonton. Seperti biasa, tampilah tontonan debat kusir yang tidak membuahkan solusi, yang hanya menunjukkan kegemaran kita sebagai bangsa yang selalu menyelenggarakan konflik. Ada kelompok ekstrim yang menolak mutlak poligami dengan argumentasi masing-masing, baik yang bersifat agama maupun non-agama. Ada kelompok ekstrim pula yang justru mendukung, bahkan dengan tegas berkata jika tidak setuju berarti tidak beriman kepada firman Tuhan.

Emang iya sih, kita mah punya banyak pakar yang pinter-pinter, pinter ngomong maksudnye… .

Oh iya hampir lupa, kita kan lagi menceritakan dua peristiwa yang terjadi dalam minggu yang sama.

Nah…, Peristiwa yang kedua tidak kalah hebohnya. Beredar rekaman film perselingkuhan antara seorang anggota dewan yang terhormat (saya gak tahu, apakah kata “terhormat” ini merupakan kata sifat dari kata “anggota” atau dari kata “dewan”) yang berinisial Y.Z. dengan seorang artis yang berinisial M.E. Saya sendiri sebagai seorang awam di dunia perartisan tidak tahu kalau ada artis yang berinisial M.E. (ungkapan lain daripada saya bilang artis yang gak terkenal…).

Imbasnya, tersiar kabar bahwa beliau bukanlah satu-satunya orang yang bertindak tidak terhormat di lingkungan yang dianggap terhormat itu. Bahkan kata orang neh..., bukan kata saya ya…, disana sampai ada rekanan, entah berbentuk perusahaan atau tanpa badan usaha yang melakukan business for pleasure. Tentu saja bisnis disana bisa menghasilkan profit besar karena konsumennya orang-orang dengan kelas ekonomi atas atau paling tidak mereka tergolong OKB (orang kaya baru). Namun tentu saja harus memberikan barang yang bukan kualitas rendahan apalagi barang sudah kadaluarsa.

Lantas…. Nun jauh disana, di Istana Negara, Bapak Presiden dikabarkan telah memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan. Namun pemanggilannya ternyata bukan karena tangisan Kartini atas kesalahan pemahaman emansipasi wanita atau karena wanita dijadikan objek atau bahkan menjadi subjek eksploitasi dalam hal kewanitaannya. Bukan pula karena kemarahan Cut Nyak Dien atas tingkah laku wanita bangsanya yang mengadopsi tingkah laku "kafir putih" musuh Cut Nyak Dien.

Kata orang, pemanggilan menteri itu untuk peninjauan undang-undang yang mengatur tentang pernikahan khususnya jumlah istri pegawai negeri. Dengan kata lain pertemuan di istana ini, diakui atau tidak, terinspirasi oleh peristiwa poligaminya Kang Ajengan. Mungkin hal ini sah-sah saja dilakukan. Tapi yang menjadi heran, kenapa tidak ada aksi paling tidak tanggapan bagi peristiwa perzinahan yang dilakukan anggota dewan tadi, padahal perbuatan itu sudah disepakati haramnya oleh semua agama, bahkan dianggap haram oleh orang-orang yang biasa melakukannya sekalipun.

Au ah gelap… mungkin karena perzinahan mah dianggap tidak melanggar HAM karena kan suka sama suka, jadi tidak mengganggu orang lain. Buktinya di televisi juga terlihat istri sahnya Y.Z. yang berzina bisa tampil lebih tenang dibanding istri pertamanya Kang Ajengan yang berpoligami. Mungkin juga karena banyak istri-istri yang complain terhadap praktek poligami tetapi tidak complain terhadap praktek prostitusi. Atau mungkin karena dunia memang sudah terbalik, yang halal dianggap haram dan yang haram dianggap halal. Ih…, na’udzu billah.

Be te we, maafin saya ya para ibu-ibu… Bukan maksud saya mendukung poligami. Terus terang saya tidak mendukung poligami, karena memang saya belum sanggup melakukannya. Eh, tidak sanggup melakukannya. Eh salah…, belum sanggup melakukannya. Aduh…. bingung…. kata yang mana ya yang tepat? “belum” atau “tidak”?

Kesaksian Ki Shadri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar