September 2010
Kesaksian Ki Shadri
Menjelang ‘iedul fitri, Ki Shadri juga biasa menyempatkan diri belanja sekedar kebutuhan lebaran. Sekalipun di antara hal yang paling tidak ia sukai adalah berdesak-desakan di pasar atau mall, tapi khusus untuk kepentingan lebaran, ia merelakan dirinya melakukan hal yang tidak ia sukai sekalipun.
Setelah keluar dari mall, Ki Shadri memenghampiri Abang becak yang sedang duduk di atas becaknya menunggu muatan. Ia memilih becak karena menurutnya lumayan kalau naik becak bisa sambil ngabuburit. Setelah menanyakan berapa ongkosnya,tanpa menawar lagi Ki Shadri langsung saja menaiki becaknya. Perlu diketahui, di antara prinsip hidup Ki Shadri adalah, dilarang menawar ongkos yang diminta Abang becak. Karena menurut dia, jika kita tidak mampu menyantuni mereka sehingga memiliki kehidupan yang layak, maka paling tidak berilah ongkos kepada mereka yang bisa membuat mereka merasa senang.
Baru beberapa meter becak itu melaju, entah mungkin basa-basi, Abang becak bertanya kepada Ki Shadri, ”Habis belanja Kang ?”. ”Iya”, jawab Ki Shadri singkat, maklum sore hari di bulan puasa, biasanya dia sudah kekurangan energi, makanya dia menghemat kata-kata. Tapi Abang becak malah melanjutkan basa-basinya lagi, ”Banyak juga belanjaannya ya”. Ki Shadri menjawab, ”Alhamdulillah, mumpung ada rejeki”.
Tapi baru saja Ki Shadri selesai bicara, ia merasakan adanya suatu kejanggalan pada suara Abang becak itu. ”Kok suaranya seperti orang yang sedang mengunyah makanan ya ?”, kata Ki Shadri di dalam hatinya sambil menoleh ke belakang. Ternyata... busyet, Abang becak ini menggayuh becak sambil mengunyah sepotong roti. Maka spontan Ki Shadri berkata, ”Ente kagak puasa Bang ?”. Dan seperti tersinggung, Abang becak itu dengan ketus menjawab, ”Iya, emang kenapa ? situ merasa dirugikan kalau aku gak puasa ?”. ”Bukan begitu”, jawab Ki Shadri, ”Kehidupan ente di dunia ini kelihatannya kurang beruntung, maka setidaknya ente harus berusaha agar di akhirat kelak bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik”.
Mendengar perkataan Ki Shadri, amarah Abang becak ini meledak. Ia mendadak menghentikan becaknya lalu berkata, ”Heh.. jangan ajarin aku puasa, aku lebih sering berpuasa daripada kamu bahkan aku lebih memahami di antara makna puasa”. Ki Shadri mendadak bengong tapi Abang becak itu terus saja bicara, ”Aku dan seluruh keluargaku berpuasa hampir setiap hari, bahkan dari siang sampai malam hari. Sepotong roti yang aku makan ini, adalah angan-anganku selama tiga hari terakhir yang baru saja aku dapatkan tadi setelah aku sisihkan uang untuk membeli susu anakku yang sudah habis seminggu yang lalu”.
Ki Shadri terdiam, seperti kehabisan kata-kata, tapi Abang becak melanjutkan pembicaraannya setelah menelan dulu suapan terakhir rotinya, ”Aku bersama istri dan anak-anakku adalah orang-orang yang setiap hari merasakan langsung bagaimana rasa lapar itu. Bahkan anak bayiku yang tidak berdosa sering menangis karena keringanya ASI istriku tapi aku belum cukup uang untuk membeli susu. Sedangkan kamu yang di bulan Ramadhan ini menyengaja melaparkan diri di siang hari, tetap tidak merasa tersentuh dengan keadaan orang-orang di sekitarmu yang benar-benar kelaparan. Bahkan di akhir Ramadhan, orang-orang seperti kalian bukannya menyantuni orang-orang fakir, tetapi malah berfoya-foya membeli banyak makanan dan pakaian dengan harga yang cukup mahal yang mungkin bahkan bisa cukup buat memperbaiki rumah kami”.
Abang becak itu terdiam sejenak, menarik dulu handuk kecil yang melingkari lehernya lalu diusapkan ke matanya yang sudah mulai berkaca-kaca oleh airmata, selanjutnya ia berkata lagi dengan nada yang lebih pelan, ”Aku tahu bahwa aku berdosa jika tidak berpuasa, tapi dengan usiaku sekarang, aku tidak kuat menarik becak sambil berpuasa. Maka aku hanya bisa memilih salahsatu dari dua pilihan, berpuasa sambil membiarkan keluargaku tidak makan atau memenuhi kebutuhan makan keluargaku dengan menggayuh becak tetapi aku tidak berpuasa”.
Ki Shadri seperti merasakan sambaran petir di tengah teriknya matahari. Penglihatan, pendengaran dan pikirannya mendadak seperti kacau. Suara Abang becak itu mulai terdengar samar-samar. Namun dalam keadaan seperti itu, ia membuka beberapa file rekaman ceramah Ki Mursyid dari dalam hatinya dan seperti berada di hadapannya, Ki Mursyid menjelaskan, ”Shadri, kamu harus tahu, ada orang-orang yang oleh Allah disebut sebagai orang-orang yang mendustakan agama. Mereka mengaku beragama, padahal sesungguhnya mereka berdusta karena melupakan di antara tujuan adanya agama. Yaitu orang yang menghardik anak yatim dan enggan memberikan makanan bagi orang-orang miskin. Makanya Allah mengancam dengan kecelakaan bagi orang-orang yang seperti ini sekalipun mereka melaksanakan shalat. Karena mereka melupakan hakikat shalatnya. Shadri, perhatikanlah keadaan orang-orang miskin jika kamu tidak mau celaka padahal kamu melaksanakan shalat”. Demikian penggalan rekaman ceramah Ki Mursyid ketika menjelaskan surah Al Ma’uun, yang berhasil diingat-ingat Ki Shadri.
”Hey.. situ kenapa ? tidur ?”, suara Abang becak itu mulai terdengar kembali oleh Ki Shadri. ”Gak Bang, ayo kita lanjutkan jalan”, jawab Ki Shadri. Tapi Abang becak itu menjawab, ”Gak perlu, karena kamu jelas tidak menyukai pendosa sepertiku”. Ki Shadri pun menjawab, ”Aku minta maaf atas omonganku yang tadi, sekarang aku mohon Abang menyampaikanku ke rumahku dan mungkin Abang berkenan untuk mampir disana sebentar saja”.
Sesampainya di rumah Ki Shadri, Abang becak itu disuruh menunggu sebentar dan tidak lama kemudian Ki Shadri pun muncul kembali. Sambil menyerahkan dua kardus yang agak besar, Ki Shadri berkata, ”Ini Bang, buat Abang dan keluarga, ada makanan, insya Allah cukup buat besok sampai akhir Ramadhan sehingga setidaknya mulai besok Abang bisa berpuasa. Ini juga ada amplop berisi uang alakadarnya untuk keperluan lainnya. Dan pakaian yang sudah saya beli, masih ada di becak belum saya bawa, itu buat Abang saja”. Demikian kata Ki Shadri yang dijawab dengan isak tangis Abang becak.
Kesaksian Ki Shadri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar