Ki Shadri Ingin Mematahkan Hawa Nafsu

April 2010
Kesaksian Ki Shadri

Sehabis dzikir shalat shubuh, masih dalam keadaan duduk bersila, pikiran Ki Shadri melayang kemana-mana. “Ada sedikit gumpalan beban di dalam hati dan pikiranku, perlukah ini? bermanfaatkah ini atau justru malah membahayakan?”, gumam Ki Shadri terdengar perlahan. Entah apa persisnya yang sedang menyelimuti pikirannya itu.

Tiba-tiba dia tersenyum seperti teringat sesuatu. Sambil menoleh kepada sahabatnya, dia berkata : “Fuad, beberapa malam terakhir ini aku selalu bertemu guruku di dalam mimpiku”. Ki Fuad cuma menatapnya, kemudian Ki Shadri melanjutkan, “Tapi aku tidak mendengar pesan apa-apa darinya, dia hanya datang mengajakku shalat berjama’ah, membuka lembaran-lembaran kitab dan kegiatan lainnya, tanpa kata-kata”. Kemudian sambil bercanda, Ki Fuad menyela : “Coba kamu pikirkan, apa kira-kira yang terpikir olehmu dari pertemuan kalian itu. Kalau kata fesbuker mah.. what’s on your mind ?....”.


Belum selesai Ki Fuad berbicara, Ki Shadri yang tatapan matanya sedang kosong seperti tidak mendengar kata-kata ki Fuad langsung berbicara lagi. “Fuad, aku mengingat sesuatu dari guruku, ya…. Ini adalah sebuah sya’ir lucu tetapi syarat akan makna. Tapi... aku lupa melagukannya”.

Rupanya Ki Shadri dari tadi sedang melakukan loading sebuah sya’ir yang pernah dia terima dari gurunya tapi masih lupa bagaimana melagukannya. Maklum, sudah lama dia tidak mendendangkan sya’ir atau nadzam sebagaimana dulu sering ia hapal ketika masih tinggal di pondok. Sekarang dia lebih sering mendengarkan lagu slow rock, metal, setidaknya pop lah dengan syarat tidak terlalu cengeng katanya.

Sambil mengkernyitkan dahi, dia berkata lagi : “Fuad, kayaknya dimulai dari kunci A nih…”.
Halah… aku gak percaya kamu ngerti kunci-kuncian itu, kalau kunci sok, kunci pas, kunci gembok mungkin kamu tahu”, kata Ki Fuad memotong Ki Shadri.

Seperti mengacuhkan kata-kata sahabatnya, Ki Shadri mulai melagukan sya’irnya. Rupanya yang dimaksud dengan kunci A itu adalah kata-kata dalam sya’ir itu dimulai dengan huruf A”.
”A... a... a...”, Ki Shadri memulai sya’irnya...
”Annafsu katthifli in tuhmilhu syabba ’alaa – hubbirrahhaa’i wa in tafthimhu yanfathimi...”. Ki Shadri mulai tersenyum dan berkata kepada Ki Fuad : ”Sahib, coba artikan sya’ir ini, please... aku mau dengar dari mulut orang lain”.

Maka Ki Fuad pun menuruti permintaan sahabatnya itu :”Nafsu itu seperti anak kecil, jika kamu biarkan maka ia akan tumbuh menjadi dewasa sambil masih suka menyusu kepada ibunya, padahal jika anak itu segera engkau lepaskan dari menyusu kepada ibunya, maka ia akan segera terlepas”.

Tiba-tiba wajah Ki Shadri terlihat tenang dan tersenyum, ia menyadari bahwa beban yang sedang menyelimuti hati dan pikirannya itu adalah hasil dari sikapnya sendiri. Terlalu banyak angan-angan dan harapan yang ia miliki, terlalu banyak keinginan nafsunya yang ia turuti. Maka mulai pagi itu Ki Shadri bertekad kembali untuk mematahkan sebagian keinginan nafsunya yang justru akan membuat dirinya terbebani. Katanya, api yang besar itu hanya terjadi dari percikan api yang kecil yang dibiarkan. Semoga Ki Shadri berhasil ....

Kesaksian Ki Shadri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar